Hadloroh Ulul Ahbab

Jumat, 14 Oktober 2011

RABITHOH BANI ALLAWIYIN "AL ADZOMAT KHON" ADALAH SEBUAH KELUARGA MULIA PENYEBAR AGAM ISLAM DI ASIA TENGGARA


 
RABITHOH BANI ALLAWIYIN "AL ADZOMAT KHON" ADALAH SEBUAH KELUARGA MULIA PENYEBAR AGAM ISLAM DI ASIA TENGGARA
 Perjalanan Syiar Islam As-sayid Al Abdul Malik bin Alwi Ammu Al-Faqih Dari Hadramaut hingga sampai di daratan IndiaSejarah penyebaran Agama Islam di kepulauan Negara - Negara Asia Tenggara dimulai dari Hijrahnya kaum Al Muhajirin asal Hadramaut – Yaman, bernama As Sayid Abdul Malik bin Alwi Ammu Al Faqih (mendapat gelar bangsawan Khon dari Kerajaan Naserebad - India)As-sayid Abdul Malik bin Alwi Ammu Al-Faqih adalah salah satu tokoh pertama penyebar Agama Islam di daratan India dari keluarga Bani Allawiyin, Beliau dilahirkan sekitar tahun 574 Hijriah, tepatnya di Qasam yakni sebuah kota yang terletak di Hadramaut – Yaman. Beliau memiliki Nasab (keturunan) sampai kepada Rasulullah SAW (generasai ke.17 dari As-Sayidina Al Imam Husain bin Sayidina Ali Karromaallohu wajhah RA suami dari Sayidatina Siti Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW ).Perjuangan dan niat mulia As-sayid Al Abdul Malik bin Alwi Ammu Al-Faqih untuk menyebarkan Agama Allah (Dinul Islam) telah bergelora semenjak Beliau masih berusia remaja. Ketika menginjak umur dewasa Beliaupun membulatkan tekat untuk keluar dari kota Qasam - Hadramaut demi menyebarkan Agama Islam (Hijrah), hingga pada akhir perjalanan Hijrahnya membawa Beliau tiba didaratan Negeri India (sebuah Negara yang dikenal sebagai Negeri Dongeng dan sangat kental dengan budaya spiritual Hinduisme).Beberapa pakar sejarawan Islam asal Negara India (Nasherebad) memberikan pernyataan bahwa As-sayid Abdul Malik bin Alwi Ammu Al-Faqih pada zaman-nya termasuk sebagai salah satu tokoh Islam pertama (dari Bani Allawiyin) yang sukses mempengaruhi penduduk India untuk memeluk Agama Islam, sehingga pada waktu itu sebagian besar pendududuk India yang berdaulat pada Raja Nasherebad, atas pengaruhnya telah berhasil memeluk Agama Islam, sekaligus berguru secara khusus kepada As-sayid Abdul Malik bin Alwi Ammu Al-Faqih tentang Syarekat – Syarekat Hukum Islam (namun belum terperinci secara jelas pada masa abad keberapa pertama kalinya As-sayid Abdul Malik bin Alwi Ammu al-Faqih tiba di India dan beberapa pakar sejarawan asal India ada yang berpendapat pada abad 5 - 6 Hijriyah)Saat menyebarkan Agama islam di daratan India, pada mulanya As-sayid Abdul Malik selalu memperkenalkan dirinya dihalayak ramai dengan menyebutkan namanya (As-sayid Abdul Malik) berikut nama ayahandanya dengan istilah dalam kultur Nasab Islam (Bin Alwi Ammu Al-Faqih) sebagai jalan untuk menjaga kelestarian nasab serta wujud penghormatan Beliau kepada Ayahandanya As Sayidina Alwi Ammu Al-Faqih, namun pada masa itu penduduk India yang fanatik terhadap ajaran Hinduisme tidak berkenan apabila As-sayid Abdul Malik menyebutkan namanya dengan menambahkan Istilah Bin Alwi Ammu Al-Faqih, karena didalam kultur ajaran Hinduisme penambahan istilah (Bin / Binti) sangatlah tidak sesuai dengan faham serta budaya mereka, apalagi kaum Hinduisme tidak mengenal istilah Bin / Binti (yang sesungguhnya dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengetahui asal muasal Nasab / garis keturunan dikalangan kaum Muslimin), sehingga penambahan istilah nama yang tidak sesuai dengan ajaran Hinduisme tersebut pada waktu itu sempat di jadikan sebagai salah satu alat oleh para tokoh sentral ajaran Hinduiesme untuk menolak ajaran As-sayid Abdul Malik bin Alwi Ammu Al-Faqih yang baru saja akan berkembang di daratan Negeri India, karena menurut faham mereka penambahan Istilah khusus dibelakang nama merupakan wujud dari suatu identitas Marga (bukan untuk mengetahui garis asal keturunan / Nasab), dalam kultur Hinduisme penambahan istilah di belakang nama juga harus dilandasi oleh sebuah Kasta (status jenjang sosial masyarakat Hindu) yang telah resmi menjadi tatanan hukum interaksi sosial ajaran Hinduisme. Sehingga demi mencapai sebuah misi penyebaran Agama Islam yang suci, pada akhirnya saat meperkenalkan dirinya (kepada para pribumi didaratan India) As-sayid Abdul Malik tidak menambahkan istilah nama (Bin Alwi Ammu Al-Faqih) yang sebelumnya di ikut sertakan di belakang namanya.Dalam catatan Sejarah yang lain juga meriwayatkan bahwa As-sayid Abdul Malik selain sebagai tokoh pertama penyebar Agama Islam (dari Bani Allawiyin) yang lekat dengan kehidupan sederhana, pada masa perjalanan syiarnya Beliau juga dikenal oleh para Bangsawan India sebagai Tokoh Ilmuwan Islam yang Harismartik sekaligus sebagai seorang pakar Budayawan, sehingga proses Islamisasi di daratan Negeri Dongengpun pada waktu itu berkembang sangat pesat.As-sayid Abdul Malik memiliki kepribadian yang kuat sekali dalam menjalankan Syari’at Agama Islam, Beliau juga termasuk Tokoh Islam Pertama yang berhasil mempengaruhi Budaya India sehingga dapat diwarnai dengan Budaya Islam, bahkan kuatnya Pengaruh As-sayid Abdul Malik di kalangan penduduk daratan India baik yang telah memeluk Agama Islam ataupun yang bersikukuh tetap memeluk Agama Hindu (pribumi non Muslim), telah menyebabkan Raja Naserabad India mengangkat As-sayid Abdul Malik sebagai Menantu, hingga di kemudian hari Raja Naserabad India memberikan gelar kehormatan sebagai Bangsawan kepada As-sayid Abdul Malik dengan menambahkan marga Khon dibelakang namanya (Khon adalah sebuah identitas marga sekaligus gelar kehormatan yang di peruntukkan bagi para Bangsawan Naserebad India). Pada akhirnya Beliaupun dikenal di daratan India sebagai Bangsawan Nasherebad dengan sebutan As-Sayid Al- Amir Abdul Malik Khon (penambahan gelar Al-Amir yang diberikan kepada Beliau merupakan gelar kehormatan dari Kerajaan Nasherebad India, yang memiliki peranan serta tanggung jawab penuh dalam memimpin syair dan pergerakan Islamisasi di daratan India, dengan maksud agar tidak terjadi perang antar saudara “Mu’alaf dengan Pribumi Non Muslim”)Dalam catatan sejarah perjalanan Marcopolo menyebutkan bahwa “As-sayid Abdul Malik Khon dalam Syiarnya menyebarkan Agama islam (pada Abad 6 Hijriyah) didaratan India. sangatlah dikenal sebagai Tokoh Ilmuwan Islam yang Piawai dalam Mengakses Perputaran Aset - Aset Kerajaan demi mensejahterakan penduduk Nasherebad (pakar Ekonomi), Beliau juga dikenal sebagai pakar Budayawan yang memiliki karakter Fleksible dalam bergaul bersama masyarakat India, sehingga As-sayid Abdul Malik Khon berhasil meng’Islamkan penduduk daratan India melalui faham keilmuan dan budaya (bukan dengan Pedang dan Peperangan)”, hal tersebut juga di akui oleh para pakar sejarawan Islam baik yang berasal dari Negara India atapun oleh para sejarawan Islam berbangsa Allawiyin asal Hadramaut – Yaman (semuanya tertuang secara jelas dalam buku – buku yang meriwayatkan sejarah otentik Hijrahnya Bani Allawiyin / kaum Al Muhajir yang berhasil membawa misi penyebaran Agama Islam ke seluruh pelosok dunia).Munculnya Rabithah Bani Allawiyin Marga “Al Adzomat Khon” sebagai Ahlul Bait Rasulullah SAW dilingkup bangsawan Khon Kerajaan Nasherebad – India.Pemberian gelar kehormatan Marga Khon kepada As-sayid Abdul Malik (sebagai Bangsawan di Kerajaan Nasherebad india) merupakan salah satu faktor pendukung utama yang menjadi sebab cepatnya proses islamisai didaratan India, bahkan dalam catatan pakar sejarawan Islam asal India menyebutkan, setelah pemberian Marga kehormatan (Khon) sebagai Bangsawan kepada As-sayid Abdul Malik, pada akhirnya Eksistensi Marga tesebut dapat menjadi fasilitasitator demi menjembatani kepentingan Beliau menjalin hubungan diplomatis terhadap para bangsawan India (selain marga Khon / Non Muslim), sehingga posisi tersebut semakin memperkuat pengaruh Beliau untuk terus menyebarkan Agama Islam di seluruh penjuru daratan India tanpa memunculkan suatu konflik yang berarti.Pernikahan As-sayid Abdul Malik Khon dengan Putri Raja Naserebad India, telah melahirkan beberapa keturunan (baik laki – laki ataupun perempuan) dan di antara putra Beliau yang paling dikenal adalah As Sayid Al Amir Abdullah bin Abdul Malik Khon (dalam ringkasan sejarah meriwayatkan bahwa penyebar Agama Islam pertama di Kepulauan Negara – Negar Asia tenggara termasuk di Nusantara, di bawa oleh para pedagang asal Gujarat India, dan mereka adalah putera keturunan dari As Sayid Al Amir Abdullah bin Abdul Malik Khon)Sebelum putra – putri keturunan As-sayid Abdul Malik Khon di lahirkan di lingkup Kerajaan Nasherebad India,disinyalir bahwa jauh hari sebelumnya As-sayid Abdul Malik Khon sudah mempersiapkan marga tersendiri yang nantinya akan diberikan secara khusus bagi anak keturunannya. Marga tersebut di ambil dari gelar Ayahandanya As Sayid Alwi yang bergelar Ammu Al Faqih (dalam catatan sejarah Rabithah Allawiyin menerangkan bahwa gelar Ammu Al Faqih yang disandang oleh As Sayid Alwi dikarenakan pada waktu itu As Sayid Alwi memiliki ketajaman tersendiri dalam mengupas dan menerangkan ilmu - ilmu Fiqih Islam, sehingga pada zamannya Beliau dikenal sebagi Ilmuwan Islam yang Mahir dan Fasih dalam pembahasan Ilmu Fiqih (Ibunya para Ahli Fiqih), maka tak heran apabila dari garis keturunan As Sayid Alwi Ammu Al Faqih berhasil melahirkan beberapa keturunan yang sangat luar biasa dan mulia, adapun salah satu garis keturunannya yang Masyhur adalah Al waliyulloh Sohibul Ratib Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad termasuk Syekh Jamaluddin Akbar atau Syekh Jumadil Kubro yang menjadi datuknya para Wali Songo di tanah Jawa).Meskipun Raja Naserebad India bangsawan Khon tahu bahwa para cucunya (hasil pernikahan putrinya dengan As-sayid Abdul Malik Khon) terlahir dari keluarga Muslim dan secara regenitika biologis memiliki hubungan darah yang lebih kuat dengan menantunya (As-sayid Abdul Malik Khon) asal dari Hadramaut (putra dari As Sayid Ammu al-Faqih), namun Raja Naserebad India bersikukuh untuk tetap memberikan gelar marga bangsawan Khon kepada para anak keturunan As-sayid Abdul Malik Khon. Raja Naserebad India menunjukkan keseriusannya tersebut dengan bersikap tidak sependapat apabila anak keturunan dari menantunya (As-sayid Abdul Malik Khon) menyandang gelar marga (Ammu Al Faqih), yang bernisbat kepada ayahandanya As Sayid Alwi Ammu Al Faqih (Seorang Ulama Masyhur Ahli Fiqih dari Hadramaut – Yaman)Demi menjaga utuhnya hubungan dengan para Bangsawan Khon di Kerajaan Naserebad India dan demi memperlancar misi penyebaran Agama suci Islam, pada akhirnya Beliau As-sayid Abdul Malik Khon mengurungkan niat memberikan gelar Nasab (marga) Ammu Al-Faqih kepada anak keturunannya.As-sayid Abdul Malik Khon dalam sejarah, pesannya mengatakan “Misi untuk tetap memperjuangkan Agama Suci Islam dikalangan anak keturunanku itu lebih mulia dibanding mempertahankan status Nasab dihadapan sesama manusia, menikahlah dengan penduduk pribumi, bergaulah dengan kalangan manapun dan cintailah Negerimu dimanapun kalian berada”Hingga pada akhirnya semua keturunan As-sayid Abdul Malik Khon menyandang gelar sebagai Bangsawan Nasherebad dengan marga Khon. Namun dikemudian hari As-sayid Abdul Malik Khon menambahkan istilah tersendiri yang di peruntukkan secara khusus bagi anak keturunannya dengan sebutan Al Adzomat Khon (Al Adzomah di ambil dari bahasa urdu india yang memiliki arti kehormatan atau kemuliaan dan penambahan istilah Al Adzomah tersebut sebelumnya sudah mendapat persetujuan dari Raja Nasherebad India), dengan alasan untuk menyelamatkan identitas resmi bagi anak keturunannya yang masih memiliki Nasab hingga sampai kepada Rasulullah SAW sehingga dari abad ke abad mereka nantinya dapat tetap berpegang teguh pada Aqidah Islam, karena pada waktu itu telah terjadi penyimpangan Aqidah Islam dilingkup kerajaan Nasherebad India yang di lakukan oleh beberapa oknum (tokoh) Hinduisme yang berindikasi ingin mematahkan pergerakan Islamisasi di India (di sinyalir beberapa tokoh Hinduisme yang sentimentil tersebut juga terprofokasi oleh hasutan kolonial tentara Inggris yang mencoba melakukakn praktek politik adu domba sebagai langkah awal untuk menjajah daratan India)Lambat tahun di daratan India marga Al Adzomat Khon dikenal oleh para pribumi sebagai Marga Bangsawan Islam (anak keturunan dari As-sayid Abdul Malik Khon) yang hidup di kerajaan Nasherebad India, dan para pribumi didaratan India juga memberikan pengakuan bagi para Bangsawan Islam bermarga Al Adzomat Khon bahwasannya mereka adalah sekumpulan keluarga mulia yang bernasabkan kepada Rasulullah SAW (dalam istilah gelar pada abad ini Al Adzomat Khon adalah marga bagi para Habaib dan Habibah). Maka tidak heran apabila putra As-sayid Abdul Malik Khon yang paling dikenal didaratan India bernama As Sayid Al Amir Abdullah di kemudian hari dikenal dengan sebutan As Sayid Al Amir Abdullah Al Adzomat Khon, dan Beliau adalah keturunan keluarga Bani Allawiyin (kaum Al Muhajir) yang pertama kali menyandang gelar marga Al Adzomat Khon, dari asal keturunannya yang mulia nanti akan melahirkan para Tokoh - Tokoh pertama penyebar Agama Islam di kepulauan Negara – Negara Asia Tenggara hingga sampai di Nusantara. Marga Al Adzomat Khon merupakan salah satu bagian marga di antara ratusan marga Bani Allawiyin yang secara resmi telah di akui oleh Rabithoh Allawiyin sebagai marga yang disandang oleh anak keturunan As Sayid Al Amir Abdullah Al Adzomat Khon bin Abdul Malik Khon bin Alwi Ammu al-Faqih yang memiliki anggota keluarga bernasabkan Kepada Rasulullah SAW, sedangkan prosesi sejarah munculnya marga Al Adzomat Khon terlahir didaratan India dan tidak terlahir di Hadramaut. Mereka para anggota keluarga Marga Al Adzomat Khon sangat dikenal sebagai Mobilisator (penggerak utama) proses Islamisasi di kepulauan Negara – Negara Asia Tenggara, yang memiliki kecenderungan menikahi para pribumi dengan merahasiakan identitas Marganya dihadapan masyrakat umum demi mencapai misi – misi suci penyebaran Agama Islam di seluruh pelosok Negeri. Regenetika perjuangan keluarga mulia “Al Adzomat Khon” sebagai keluarga Bani Allawiyin yang berhasil membawa pergerakan serta penyebaran Agama Islam yang suci di daratan Negara – Negara Asia Tenggara termasuk di kepulauan Nusantara, pada abad terakhir ini jarang sekali sejarahnya di kenang kembali oleh kalangan kaum muslimin, bahkan tidak sedikit di antara mereka memberikan pandangan yang sentimentil dengan menggangap bahwa Nasab (keturunan) dari keluarga mulia “Al Adzomat Khon” (yang sesungguhnya memiliki Nasab otentik sebagai anak keturunan dari Rasulullah SAW) telah di tuding sebagai keluarga yang tidak bernasabkan sebagai Dzuriyah Rasul (bukan keturunan darah suci dari Rasulullah SAW). Padahal tanpa disadari keberadaan Agama Islam yang suci yang telah dianut oleh para penuding tersebut pada mulanya berasal dari jasa serta perjuangan keluarga Mulia Bani Allawiyin yang bermarga “Al Adzomat Khon”.Namun dapat dimaklumi, lemahnya kepercayaan beberapa kaum muslimin yang tidak mengakui marga “Al Adzomat Khon” sebagai Dzuriyah Rasul (anak keturunan dari Rasulullah SAW), hal tersebut dipicu dengan sebab lemahnya pengetahuan mereka dalam mengakses sejarah otentik tentang munculnya marga “Al Adzomat Khon” sebagai anak keturunan dari bangsawan Nasherebad – India As Sayid Al Amir Abdullah Al Adzomat Khon bin Abdul Malik Khon bin Alwi Ammu al-Faqih sebagai generasai ke.18 dari keturunan Rasulullah SAW. Sehingga tidak salah apabila para keturunan Mulia keluarga Besar “Al Adzomat Khon” lebih cenderung untuk tidak memunculkan Nasab Marganya, namun mereka tetap eksis melanjutkan pergerakan Islam sebagai langkah untuk mengangkat yang haq dan menekan yang bathil serta bertujuan untuk meneruskan perjuangan Mulia para datuk – datuknya terdahulu hingga abad kini. Berkembangnya ajaran Islam di Nusantara, hingga akhirnya Bangsa ini memiliki populasi tingkat penduduk sebagai pemeluk Agama Islam terbesar di dunia tidak dapat lepas dari peran sejarah perjuangan keluarga Bani Allawiyin (marga “Al Adzomat Khon”) yang dikenal sebagai mobilisator (penggerak) serta penyebar Ajaran Islam pertama di kepulauan Asia Tenggara termasuk di Nusantara pada masa itu, sebagaimana di ungkap dalam sejarah bahwasannya Islam pertama kali masuk ke Samodra Hindia ( kepulauan Indonesia) salah satunya di bawa oleh para Pedagang Gujarat asal India dan Beliau adalah As Sayid Jamaluddin Akbar (Syekh Jumadil Kubro) bin Ahmad Jalaludin bin Abdullah “Al Adzomat Khon” yang menjadi tonggak perjuangan Islam di Nusantara dan Beliau juga dikenal sebagai Walid (Orang tua) dari seluruh sesepuh Wali Songo.Peristiwa pengusiran kekejaman Kolonialisme Belanda (pada masa jajahannya di Nusantara), berbagai sejarah otentik juga mengungkap bahwa keluarga Bani Allawiyin (marga “Al Adzomat Khon”) memiliki peran penuh mengusir penjajah belanda hingga diantara mereka terlibat langsung di medan laga untuk mengusir kaum kafir (Kolonial Belanda) yang menjajah Nusantara pada waktu itu, dengan mengorbankan segenap jiwa dan raga demi utuhnya persatuan Nusantara, hingga berdirinya ibu kota Indonesia (Jakarta) yang dulu dikenal sebagai Jayakarta tidak dapat lepas dari perjuangan Raden Fatahilah sebagai menantu Sunan Gunung Jati, melalui skenario jiwa patriotisme Sunan Gunung Jatil pada akhirnya anak menantunya yang bernama Raden Fatahilah memenangkan pertempuran Malaka II sehingga kaum Kafir kolonialis Belanda pada akhirnya segera Hengkang meninggalakan Jayakarta sehingga keutuhan kepulauan Nusantara dapat kembali bersatu . Raden Fatahilah dan Sunan Gunung Jati merupakan anak keturunan yang dilahirkan dari Keluarga Bani Allawiyin dengan marga “Al Adzomat Khon”. Berikut adalah silsilah Sunan Gunung Jati atau yang lebih dikenal dengan nama Syekh Syarif Hidayatulloh Al Adzomat Khon yang bernasabkan hingga sampai kepada Rasullah SAW :Syekh Syarif Hidayatullah bin Umadtuddin Abdullah bin Ali Nurul 'Alam binJamaluddin Akbar bin Ahmad Jalaludin bin Abdullah “Al Adzomat Khon” binAbdul Malik Khon bin Alawi Ummu Al Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath Ali Kholi' Qosim bin Alawi Ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi'ah bin Alawi Awwal bin Al-Imam 'Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Naqib Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Al-Imam Ali Uradhi bin Ja'far As-Sodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal 'Abidin bin Al-Imam Sayyidina Hussain Al-Husain putera Ali bin Abu

Jumat, 30 September 2011

MIMPI GURU MULIA HB MUNZIR DG RASUL SAW

MIMPI GURU MULIA HB MUNZIR DG RASUL SAW

di ambil dari FB a.n: Opig Alfadani

Oleh Habib Munzir AlMusawa
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari anda,


Saudaraku yg kumuliakan,

selamat datang di web para pecinta Rasul saw, kita bersaudara dalam kemuliaan

saudaraku tercinta, boleh saya ceritakan mimpi saya sekitar setahun yg lalu, saya melihat Rasul saw didalam kemah besar dan mewah, dan dihadapannya seperti ada bangunan bangunan yg sedang dibangun, hamba berpakaian lusuh dan kotor, kebetulan Rasul saw melihat hamba dan memanggil hamba, dg lembut dan tidak tega beliau saw berkata : wahai munzir, kau sudah kelelahan sekali bekerja dalam pembangunan ini, sudah, masuklah beristirahat di kemahku, lalu saya dibawa ke kemah beliau saw, saya berdiri dipintu kemah itu, saya melihat ada hidangan hidangan dan buah buahan, dan guru mulia ada didalamnya, lalu guru mulia melihat saya, dan berkata : wahai munzir, aku keluar dan masuk ke kemah ini dengan bebas, namun jika engkau masuk kesini, kau tak akan kembali lagi selama lamanya ke dunia, terserah padamu...


maka saya terdiam dan ragu untuk masuk, maka beberapa malaikat disekitar saya menghimbau saya untuk masuk kemah dan beristirahat, lalu malaikat Izrail as memegang kedua pundak saya dari belakang, dan berkata : mari kubimbing kau masuk..., pegangannya lembut saja, namun terasa seluruh urat tubuh saya sudah digenggamannya, maka saya menolak dan berkata : saya masih ingin bakti pada guru mulia membantu beliau..!

maka Rasul saw memberi isyarat pada malaikat Izrail as untuk melepaskan saya, lalu beliau saw berkata : tempatmu kelak disini wahai munzir, sekemah denganku, seatap denganku.., tinggal bersamaku, kau tak punya rumah di dunia dan akhirat, rumahmu bersamaku, seatap dg ku.. lalu saya terbangun.

beberapa bulan kemudian saya berjumpa lagi dg Rasul saw dalam mimpi dan beliau saw duduk berdambingan dg saya, seraya berkata : "sampai kapan kau menunda ajakanku wahai munzir..?, kupanggilkan izrail dan jibril untuk membawamu sekarang?, lalu saya menjawab : wahai Rasulullah, jikalah saya diizinkan Allah dan Rasul Nya, saya masih ingin membantu Guru saya.., maka Rasul saw tersenyum dan memegang rambut saya sedikit menjambaknya seperti ayah yg mempermainkan anak kecilnya, beliau berkata : tidak ada yg menolak undanganku kecuali orang orang aneh semacam mu wahai munzir.., lalu beliau saw berangkat dari duduknya sambil tersenyum dan pergi.


saya terus berdoa, jika saya masih diizinkan Allah swt untuk berumur panjang dan berbakti pada Allah dan Rasul Nya dalam dakwah yg dijalankan Guru mulia saya, maka saya meminta pada Allah umur panjang, namun jika kemangkatan saya lebih membawa manfaat maka saya memilih mangkat, Allah swt Maha Mampu membuat 1000 orang yg lebih baik dari hamba untuk membimbing ummat.


namun harapan saya, saya wafat setelah jakarta menjadi kota yg beriman, kalau kota demak disebut kota wali, maka saya bercita cita jakarta kota Sayyidina Muhammad saw, maksudnya kota yg beriman, rukun antar ummat beragama, musliminnya mayoritas baik dan tidak berpecah belah, akidah sudah suci dan tidak terkotori, dan Alhamdulillah semakin hari semakin berjuta ummat yg terbawa dalam dakwah keluhuran sang Nabi saw, namun untuk saat ini masih jauh dari target yg memuaskan kita, maka hamba berharap Allah swt belum mewafatkan hamba sampai cita cita hamba tercapai, amiin.


Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,


Wallahu a'lam


Nb: WAhai Allah....

Jika ENgkau menjadikan JAkarta kota Sayyidina Muhammad saw, maka jadikanlah Kendal Kota Pecinta Sayyidina Muhammad saw..... Aamiin....

Minggu, 25 September 2011

KH MAIMOEN ZUBAIR IN MAROKO ( Mauidhoh Di Universitas Ibnu Tofail UIT )

Pimpinan Ponpes Al-Anwar Sarang, KH. Maimoen Zubair menyampaikan masyarakat muslim Indonesia sejak dahulu kala sangat mencintai Maroko secara zohir dan batin dan bahkan mengenal Maroko sejak Ibn Batutah, pengelana muslim termasyhur menginjakkan kaki di Nusantara.

Hal itu disampaikan KH. Maimoen Zubair, dalam ceramahnya di Fakultas Sastra dan Humaniora, Universitas Ibnu Tofail (UIT), Kenitra sekitar 30 km dari Rabat, Maroko, demikian keterangan pers KBRI Rabat dalam keterangannya yang diterima Antara London, Jumat.

Forum yang diadakan KBRI Rabat kerjasama dengan UIT dihadiri Dubes RI untuk Kerajaan Maroko Tosari Widjaja dan Ibu Mahsusoh Ujiati, Rektor UIT Prof. Abderrahmane Tenkoul, Dekan Fakultas Sastra & Humaniora Prof. Dr. Abdelhanine Belhaj, Ketua Program Studi Islam Prof. Dr. Salam Abrich, para staf KBRI Rabat, dosen, mahasiswa dari berbagai fakultas di UIT serta Pehimpunan Pelajar Indonesia di Maroko.

Ulama kharismatis yang akrab disapa dengan panggilan Mbah Maimoen, dengan penuh semangat di usianya yang tidak muda lagi memberikan ceramah yang berjudul "Perkembangan dan Kemajuan Islam di Indonesia".

Dalam ceramah yang menggunakan bahasa Arab, Mbah Maimoen menjelaskan perkembangan Islam di Indonesia sejak awal hingga saat ini serta peran ulama Timur Tengah terutama Maroko dalam menyebarkan dakwah Islam di Indonesia.

Hingga saat ini kitab-kitab ulama Maroko menjadi pelajaran wajib di pesantren di Indonesia seperti kitab dasar Nahwu (gramatikal) bahasa Arab Al Ajurrumiyah karya Imam Sonhaji dan kitab amalan harian Dalalil Al Khairat karya Imam Jazuli dipakai mayoritas muslim di Indonesia.

"Hubungan Indonesia-Maroko sesungguhnya seperti hubungan murid dan guru," ungkapnya.

Pada sesi tanya jawab, para hadirin mengungkapkan kekaguman mereka terhadap islam di Indonesia yang menjadi contoh nyata Islam yang moderat dan mampu berdialog dengan kemajuan zaman serta berhasil membangun teknologi dan menjadi kekuatan ekonomi dunia yang diperhitungkan.

Acara dimulai dengan pembukaan yang disampaikan Dr. Maryam Eit Ahmad, yang mengatakan bahwa hubungan antara Indonesia dan Maroko terjalin sejak dulu dimulai dengan datangnya Ibnu Bathutah ke Indonesia kemudian diiringi kontribusi Soekarno dalam mendukung kemerdekaan Maroko di Kongres Asia-Afrika di Bandung dan dilanjutkan dengan kunjungan beberapa tokoh penting Indonesia ke Maroko.

Mbah Kyai mengatakan bahwa dalam proses belajar yang dijalaninya tidak lepas dari masjid.

"Dulu ketika masih diasuh oleh ayah saya ikut ngaji di masjid, kemudian ketika mondok di Lirboyo juga ngaji di masjid dan akhirnya ketika di Makkah ngaji bersama Syeikh Amin Qutbi, dan Syeikh Alawi Almaliki juga di masjid, jadi bagi saya masjid mempunyai keistimewaan tersendiri yaitu tempat yang istimewa untuk ilmu dan ibadah," tegasnya.


Mbah Maimoen mengatakan Indonesia dan Maroko bagaikan masyrik dan maghrib, masyrik dan maghrib adalah dua hal yang menyatu, persatuan antara keduanya itulah bukti dari kejayaan islam. "Bagi Indonesia Maroko adalah markas Islam, karena Islam di Indonesia dikenalkan oleh Ibnu Bathutah dan Ibnu Bathutah orang Maroko," ujar mbah kyai yang membuat hadirin tersenyum.

Di akhir forum Mbah Maimoen menerima cinderamata penghargaan dari Dr. Ahmed El Mahmoudi berupa kitab Tasawuf Al Durroh Al Kharidah Syarh Al Yaqutah Al Faridah karangan ulama Maroko Muhammad Abdul Wahid As Sousi.

Dalam kunjungannya bersama rombongan, Mbah Maimoen, berziarah ke beberapa makam ulama besar Maroko yang berjasa bagi penyebaran Agama Islam di Indonesia, diantaranya Dharih (istilah makam dalam bahasa Maroko - red), makam Syeikh Tijani pendiri tariqat Tijaniah di Kota Fes, Syeikh Imam Jazuli pengarang buku Dalailul Khairat di Fes, Ibnu Ajrum Ashanhaji pengarang buku Nahwu Ajrumiah dan Ibnu Bathuthah di Kota Tangier.

Selain itu Mbah Maimoen, bertemu Sekjen Majli Ilmy (Majlis Ulama) Maroko Prof. Dr. Ahmed Yesif, Mursyid Agung Toriqoh Tijaniyah Syekh Syarif Mohamed Al Kabir Al Tijani, kunjungan ke Kampus Taklim Al Atiq Imam Nafi di kota Tanger serta mengadakan diskusi dengan sejumlah ulama Maroko lainnya.

Koordinator Dept. Media dan Informasi PPI Maroko, Burhan Ali mengatakan pada akhir acara memimpin doa dan seluruh hadirin ikut mengamini dengan khusyuk dan seksama dan dilanjutkan dengan photo bersama dengan undangan dan mahasiswa sebagai bukti kenang-kenangan ikut ngaji bersamaKiyai Maimoen Zubair.

KH. Maimun Zubair Berkunjung ke Madrasah Quaraouiyine {Maroko}

Berkunjung ke Madrasah Quaraouiyine (baca qarawiyyin -red) menjadi salah satu agenda kunjungan KH. Maimun Zubair Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah selama di Maroko.

Madrasah Quaraouiyine adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di dunia. Didirikan pada tahun 245 / 857 M, oleh Fatimah Fihriyah, seorang wanita dari kota Kairouan, Tunisia.  Maka, nama Quaraouiyine pun diambil dari kata Kairouan ini.

Tempat pertama yang dikunjungi di komplek ini adalah Madrasah al-Shaffarin, madrasah ini sebenarnya merupakan kamar-kamar untuk santri-santri Jami' Quaraouiyine (Jami' berarti masjid –red). Dulu pernah ada santri dari Indonesia yang mondok di sini yaitu Ustad Amrul Qois dari Jakarta.

Di dalam salah satu kamar Madrasah al-Shaffarin ini terdapat mauqifnya Imam Jazuli di mana beliau gunakan untuk mengarang kitab shalawat Dalail al-Khoirat.
Kemudian tempat yang dikunjungi adalah gudang ilmu perpustakaan Quaraouiyine. Biasanya tempat ini dilarang untuk dijadikan tempat tourist, tapi dengan kharisma Mbah Kyai Maimun, serta keikutsertaan Ibu Dubes, pegawai perpustakaan pun mempersilahkan dengan ramah kunjungan rombongan ini.

Di perpustakaan Quaraouiyine ini kitab-kitab berjejeran di rak buku dengan tersusun rapi. Mbah Kyai pun sempat membuka-buka kitab dan membaca kitab yang dipilih hampir 15 menit di situ.

Kepala Perpustakaan mengatakan  bahwa perpustakaan Quaraouiyine memiliki 4.000 lebih manuscript yang di simpan di sini, dan kebanyakannya sudah di foto atau masuk dalam micro film untuk dibaca oleh para ahlinya.

Ketika adzan dhuhur menggema, rombongan segera masuk ke Jami' Quaraouiyine dan melakukan shalat dhuhur berjamaah karena pintu masjid hanya akan dibuka ketika waktu solat saja. Ketika selesai mereka akan menguncinya.

Setelah Mbah Kyai berdiri di shaf paling depan. Ketika itu, beliau bertanya kepada Muhammad Ayman, S.HI yang menjadi pemandu Mbah Kyai, mengapa orang-orang pada solat miring ke kiri?

"Dulu bangunan Masjid Quaraouiyine dibangun ketika belum tahu arah kiblat. akan tetapi setelah beberapa ratus tahun baru diketahui kesalahan tersebut. Oleh sebab itu mereka merubah arah kiblat akan tetapi bangunan tetap sama" Jawab Ayman, Mahasiswa Malaysia di Maroko yang pernah mengenyam ilmu di Pon-Pes Raudlatul 'Ulum, Kencong-Kepung-Kediri-Jawa Timur selama 13 tahun.

"Perkara ini langsung ditolak oleh KH Maimun Zubair. Beliau berkata itu tidak sepatutnya berlaku. Karena dalam 4 mazhab yang penting adalah dalail al-qiblat. Jadi, dengan menghadap arah timur sudah benar. Ini berbeda dengan mazhab Syiah menurut beliau" tutur Ayman mengutip penjelasan Romo Kyai.

"Perkara ini ditegur beliau karena isu perubahan kiblat masjid di Indonesia yang juga seperti di dalam film Sang Pencerah" lanjutnya.

Setelah itu Romo Kyai diperkenalkan dengan Imam Masjid Quaraouiyine. Dan melihat-lihat kursi di masjid yang bertingkat-tingkat menyerupai kursi khatib jumat di mana kursi tersebut adalah tempat duduk Syuyukh Quaraouiyine untuk mengajar. Jami' Quaraouiyine merupakan tempat menuntut ilmu seperti pesantren di Indonesia.

Setelah selesai berkunjung di komplek Jami' Quaraouiyine, Rombongan berangkat menuju ke Maqam Syeikh Tijani. Di sana langsung disambut oleh Pimpinan  Thoriqoh tersebut. Dan dilanjutkan dengan membaca tahlilan dan doa bersama.

Ketika sudah selesai, Rombongan yang disertai Ibu dubes Mahsusoh Ujiati dan Staf KBRI Pelaksana Fungsi Pensosbud Suparman Hasibuan,  berangkat menuju kendaraan untuk selanjutnya berangkat ke tempat tujuan terakhir di kota Fes yaitu Maqam Abu Bakar Ibnu al-Arabiy, pengarang Tafsir al-Ahkam al-Qur'an yang masyhur.(Ba)
 
 
Redaktur : Dept. Media dan Informasi PPI Maroko 2011-2012

Kamis, 11 Agustus 2011

K.H.Maimoen Zubair

K.H.Maimoen Zubair
Tanggal lahir Syaikhuna yang selama ini diyakini bertepatan dengan 28 Oktober 1928 ternyata memiliki kejanggalan. Kejanggalan itu terjadi ketika dikonversi ke penanggalan Hijriyah yang ternyata jatuh pada bulan Jumadal Ula. Padahal, seperti disampaikan sendiri oleh Syaikhuna, beliau lahir pada bulan Sya’ban menjelang bulan Ramadhan. Kejanggalan juga terjadi berkaitan dengan wethon. Sebab, 28 Oktober 1928 jatuh pada hari Minggu Wage, sementara Syaikhuna menyebutkan, lahir pada hari Kamis Legi.

Setelah hal ini saya konfirmasikan kepada Syaikhuna sendiri, saya mendapat jawaban bahwa menurut beliau tanggal 28 Oktober 1928 hanyalah perkiraan. Justru beliau yakin bahwa beliau lahir pada Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 atau 1348.

Berdasarkan penghitungan falak, Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 jatuh pada tanggal 27 bertepatan dengan 7 Pebruari 1929. Dan Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1348 jatuh pada tanggal 23 bertepatan dengan 23 Januari 1930. Dengan mempertimbangkan 28 Oktober 1928 sebagai perkiraan, maka bisa disimpulkan tanggal lahir Syaikhuna adalah 27 Sya’ban 1347 H. bertepaatan dengan 7 Pebruari 1929 M., karena tanggal inilah yang lebih dekat dengan 28 Oktober 1928.

Kejanggalan 28 Oktober 1928

Di buku-buku memori siswa Ghozaliyah dan Muhadloroh Al-Anwar, tanggal lahir Syaikhuna tertulis 28-Oktober-1928. Biografi yang ditulis oleh saudara Noor Amin Sa’dullah juga menyebutkan 28-Oktober-1928 sebagai tanggal kelahiran Syaikhuna. Di berbagai biografi yang pernah saya baca, tanggal lahir Syaikhuna juga disebutkan 28-Oktober-1928 yang bertepatan dengan hari sumpah pemuda. Demikian pula biografi yang ditulis KH Muhammad Najih Maemoen menyebutkan hari sumpah pemuda sebagai hari kelahiran Syaikhuna. Dan tanggal inilah yang selama ini diyakini banyak orang sebagai hari kelahiran Syaikhuna.

Pada acara haul Mbah Zubair tahun 1428 lalu, seperti biasa teman teman alumni yang datang, termasuk saya, sowan ke Syaikhuna. Saat itu Syaikhuna sempat ngendikan bahwa beliau lahir bulan Sya’ban menjelang Puasa. Beliau tidak menyebutkan, tanggal berapa tepatnya, tetapi yang jelas sudah mendekati bulan Ramadhan. Beliau hanya memastikan bahwa wetonnya adalah Kamis Legi.

Saya juga menemukan informasi yang sama dalam biografi yang ditulis KH Najih Maimoen. Di situ disebutkan bahwa Syaikhuna lahir di Karangmangu Sarang Rembang pada hari Kamis bulan Sya’ban 1428 H. bertepatan dengan 28 Oktober 1928 M.

Saya penasaran dengan informasi terbaru ini. Begitu pulang ke rumah saya coba otak-atik hari “Sumpah Pemuda” dan Kamis Legi bulan Sya’ban dengan menggunakan hisab ephimeris dengan markaz atau epoch Semarang. Hasil pertama yang saya temukan adalah bahwa tanggal 28 Oktober 1928 M. bertepatan dengan Minggu Wage 14 Jumadal Ula 1347 H. Hasil yang tidak menggembirakan tentunya. Sebab, ternyata hari Sumpah Pemuda tidak bertepatan dengan bulan Sya’ban juga tidak jatuh pada hari Kamis Legi.

Sekarang saya menggunakan asumsi kedua, yaitu penanggalan Hijriyah. Saya coba mencari awal Ramadlan yang berada pada tahun 1928, untuk mengkompromikan antara qaul Sya’ban menjelang Ramadhan dari sisi Hijriyah dengan qaul 28 Oktober 1928 dari sisi Masehi. Dan hasilnya, awal Ramadhan 1346 adalah satu-satunya Ramadlan yang berada pada tahun 1928, tepatnya jatuh pada Kamis Legi 23 Pebruari 1928 dengan hitungan istikmal. Ini juga hasil yang tidak memuaskan. Sebab dengan demikian Kamis Legi bulan Sya’ban tidak ada kena-mengenanya dengan 28 Oktober 1928.

Dengan hasil penghitungan di atas maka hanya ada dua kemungkinan: berpatokan dengan penanggalan Masehi dengan mengabaikan informasi Kamis Legi Sya’ban atau berpatokan pada penanggalan Hijriyah dengan mengabaikan hari Sumpah Pemuda. Sebab 28 Oktober 1928 berada di bulan Jumadal Ula yang berarti jauh dari bulan Sya’ban, dan Sya’ban yang berada di tahun 1928 jatuh pada bulan Pebruari yang berarti jauh dari Oktober.

Kamis Legi Sya’ban 1347 atau 1348

Jalan satu-satunya untuk mengurai kejanggalan di atas adalah bertanya langsung kepada sumber aslinya. Pada hari Rabu 28 Juli 2008 selepas jama’ah Maghrib Al-Anwar saya berkesempatan menghadap Syaikhuna dalam suasana yang kondusif untuk bertanya panjang lebar. Saat itu hanya ada saya, Abdul Aziz, menantu Almaghfurlah Pak Thoyfoer, dan temannya.

Saya bertanya, “Ingkang kawulo mireng, panjenengan lahir tanggal 28 Oktober 1928. Nopo leres mekaten?”.

“iku lha’ mung kiro-kiro, heh”, jawab Syaikhuna.

Sebelum sempat bertanya lebih jauh, kami bertiga dipersilahkan makan. Dan selama di meja makan pembicaraan beralih ke topik lain.

Setelah kembali ke ruang tamu, saya tidak langsung melanjutkan wawancara, karena tampaknya Abdul Aziz perlu menyelesaikan maksud sowannya. Beberapa menit kemudian, baru saya meminta ijin untuk bertanya lagi.

“Nopo leres jenengan lahir teng wulan Sya’ban, Yai”, tanya saya.

“iyo bener”, Jawab Syaikhuna pendek.

“tahune 47 utowo 48, aku lali”, sambung Syaikhuna.

Saya keluarkan pena dan kertas yang memang sudah saya persiapkan, kemudian mencatat hasil wawancara. Saya kembali bertanya, “wetonipun Kemis Legi, leres mekaten, Yai”.

Sambil tersenyum Syaikhuna balik bertanya, “Arep mbok kapakno?”.

“Mboten, Yai. Namung bade nyerat biografinipun panjenenagan”, jawabku singkat.

“iyo Kemis Legi”, demikian akhirnya Syaikhuna menegaskan wetonnya.

Dari wawancara itu saya mendapatkan beberapa fakta penting langsung dari sumber aslinya sbb :

1. Syaikhuna yakin, lahir pada bulan Sya’ban
2. Syaikhuna yakin, lahir pada hari Kamis Legi
3. Syaikhuna yakin, tahun kelahirannya adalah 1347 atau 1348 H.
4. Syaikhuna yakin bahwa tanggal lahir 28 Oktober 1928 hanyalah perkiraan dan bukan kepastian.

Dari keempat fakta diatas, dua fakta pertama merupakan kepastian hari dan bulan, sekaligus kata kunci yang dapat menentukan kepastian tanggal. Sebab Kamis Legi merupakan siklus 35 hari. Berarti dalam satu bulan tidak mungkin terjadi dua Kamis Legi. Bahkan, belum tentu setiap bulan memiliki hari Kamis Legi. Dengan demikian, tanggal kelahiran Syaikhuna adalah tanggal yang jatuh pada Kamis Legi di bulan Sya’ban.

Kemudian fakta ketiga dan keempat adalah petunjuk yang dapat menentukan tahun. Fakta ketiga memberikan dua alternatif tahun, yaitu 1347 dan 1348. Dan fakta keempat adalah perkiraan tanggal yang menggunkan sebuah moment besar sebagai ancer-ancer. Dalam tradisi jawa moment besar biasa digunakan sebagai ancer-ancer hari kelahiran. Misalnya, orang yang lahir satu atau dua bulan setelah Gestapu dikatakan lahir saat Gestapu. Dengan berpegang pada fakta keempat bahwa hari Sumpah Pemuda hanyalah perkiraan, maka fakta keempat adalah ancer-ancer untuk menentukan, apakah Syaikhuna lahir di tahun 1347 atau 1348.

Berdasarkan penjelasan di atas saya merumuskan kerangka dasar untuk menentukan tanggal lahir syaikhuna sbb: Syaikhuna lahir pada tanggal yang bertepatan dengan hari Kamis Legi di bulan Sya’ban pada tahun antara 1347 atau 1348 Hijriyah yang lebih dekat dengan 28 Oktober 1928 Masehi.

Untuk mengimplementasikan kerangka dasar tersebut, pertama-tama saya akan menetapkan, kapan bulan Sya’ban 1347 terjadi. Kemudian saya akan mencari, jatuh pada tanggal berapakah hari Kamis Legi bulan tersebut. Langkah yang sama akan saya lakukan untuk mencari Sya’ban tahun 1348. Jika Sya’ban 1347 dan 1348 sama-sama memiliki hari Kamis Legi, maka saya akan memilih tahun yang lebih dekat dengan tanggal 28 Oktober 1928 M. Dan jika hanya salah satu yang memiliki hari Kamis Legi, maka tahun itulah yang saya tetapkan sebagai tahun kelahiran Syaikhuna.

Perlu dicatat bahwa dalam menetapkan awal bulan Sya’ban saya menggunakan metode Hisab Ephimeris dengan markaz atau epoch Sarang yaitu: 6° 44' LS dan 111° 36', serta batas minimal imakanur ru’yah 2°. Pilihan terhadap metode hisab semata mata karena metode inilah yang mungkin saya gunakan. Sebab saya tidak menemukan dokumentasi ru’yah untuk bulan Sya’ban 1347 ataupun 1348. Dan dalam hal ini, perbedaan ru’yah dan hisab hanya mempengaruhi penetapan tanggal hijriyah saja.

Menurut hasil penghitungan saya, bulan Sya’ban 1347 jatuh pada Sabtu Kliwon, 12 Januari 1929. dan Kamis Legi yang ada dalam bulan tersebut jatuh pada tanggal 27 bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1929.

Untuk tahun 1348, awal bulan Sya’ban jatuh pada Rabo Wage, 1 Januari 1930. Dan hari Kamis Legi di bulan tersebut jatuh pada tanggal 23 bertepatan dengan 23 Januari 1930.

Dengan demikian baik tahun 1347 maupun 1348 sama-sama memiliki Kamis Legi yang jatuh pada bulan Sya’ban, yaitu:

* Kamis Legi 27 Sya’ban 1347 H. bertepatan dengan 7 Pebruari 1929
* Kamis Legi 23 Sya’ban 1348 H. bertepatan dengan 23 Januari 1930

Dari kedua Kamis Legi Sya’ban di atas, yang lebih dekat dengan 28 Oktober 1928 adalah Kamis Legi Sya’ban tahun 1347. Oleh karena itu saya menyimpulkan bahwa tanggal lahir Syaikhuna adalah 27 Sya’ban 1347 H. bertepaatan dengan 7 Pebruari 1929 M.


Istri dan Putra-Putri Syaikhuna
Print this page Generate PDF

Anak dalam keluarga adalah anugrah terbesar yang merupakan cikal bakal masyarakat dan generasi penerus. Dan memberikan ma’na bahwa masyarakat dan generasi yang baik hanya akan terwujud bila setiap keluarga lebih mengedepankan nilai dan tatanan kebaikan dalam keseharian. Menjadikan mereka berilmu tinggi, berwawasan luas, berakhlaq mulia dan tak kalah pentingnya adalah lantunan do’a yang selalu diharapkan pada saat orang tua telah berada di alam barzah.

Senada dengan itu, KH. Maimoen Zubeir dalam mendidik putra-putrinya selalu mngedepankan pendidikan dan budi pekerti luhur yang keduanya menjadi pondasi utama dalam mengarungi kehidupan menuju kebahagiaan abadi. Tak lupa juga do’a untuk mereka, beliau berharap agar semuanya menjadi anak sholeh sholihah. Dan kiranya Alloh SWT mengabulkan harapan beliau yang dimunajatkan dengan sunguh-sungguh dan tak mengenal kata bosan.

Berikut istri dan putra putri beliau:

* Ibu Nyai Hj. Masthi'ah (Istri)
* KH. Abdullah Ubab Maimoen (Putra Pertama)
* KH. Muhammad Najih Maemoen (Putra Kedua)
* KH. Majid Kamil Maimoen (Putra Keempat)
* KH. Abdul Ghofur Maimoen, MA (Putra Kelima)
* KH. Abdur Rouf Maimoen (Putra Keenam)
* KH. Muhammad Wafi Maimoen (Putra Ketujuh)

Selasa, 09 Agustus 2011

Riwayat Panjang Dalam Berdirinya Ka'bah Dalam Perjalanan Islam

Ka'bah
 MAKKAH (Berita SuaraMedia) - Ka'bah berkali-kali rusak sehingga harus berkali-kali dibongkar sebelum dibangun kembali. Di Museum Haramain, benda-benda itu disimpan.
Ada kotak tempat menyimpan parfum yang dulu pernah mengisi ruangan Ka'bah. "Ruang Ka'bah isinya hanya tiga pilar dan kotak parfum itu,'' ujar Abdul Rahman, menunjuk pilar-pilar dan kotak yang letaknya berjauhan.

Petugas Museum Haramain di Ummul Joud, Makkah, itu mengantar kami keliling melihat koleksi museum. Museum ini menyimpan benda-benda dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ada potongan pilar Ka'bah yang bentuknya sudah seperti kayu fosil berwarna cokelat tua, disimpan bersama kunci pintu Ka'bah dari kayu, juga berwarna cokelat tua. Pintu Ka'bah selalu dikunci dan pemegang kunci sudah turun-temurun dari satu keluarga, sejak sebelum Nabi lahir.


Tangga kuno yang pernah dipakai untuk masuk Ka'bah juga tersimpan di museum ini. Tersimpan pula pelapis Hajar Aswad serta pelapis dan pelindung Maqam Ibrahim. Jika orang-orang berebut mencium pelindung Maqam Ibrahim, seharusnya yang layak dicium adalah yang tersimpan di museum ini karena usianya lebih tua dari pelindung yang sekarang dipasang.

Namun, tak ada anjuran mencium Maqam Ibrahim. Nabi hanya memberi contoh mencium Hajar Aswad.

Kotak parfum Ka'bah yang disimpan di museum ini juga berwarna cokelat tua. Sewaktu masih difungsikan di dalam Ka'bah, botol-botol parfum yang dipakai untuk mengharumkan ruangan Ka'bah disimpan di kotak itu.


Riwayat Ka'bah


Ka'bah  awalnya dibangun oleh Adam dan kemudian anak Adam, Syist, melanjutkannya. Saat terjadi banjir Nabi Nuh, Ka'bah ikut musnah dan Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membangun kembali. Al-Hafiz Imaduddin Ibnu Katsir mencatat riwayat itu berasal dari ahli kitab (Bani Israil), bukan dari Nabi Muhammad.


Ka'bah yang dibangun Ibrahim pernah rusak pada masa kekuasaan Kabilah Amaliq. Ka'bah dibangun kembali sesuai rancangan yang dibuat Ibrahim tanpa ada penambahan ataupun pengurangan. Saat dikuasai Kabilah Jurhum, Ka'bah juga mengalami kerusakan dan dibangun kembali dengan meninggikan fondasi. Pintu dibuat berdaun dua dan dikunci.


Di masa Qusai bin Kilab, Hajar Aswad sempat hilang diambil oleh anak-anak Mudhar bin Nizar dan ditanam di sebuah bukit. Qusai adalah orang pertama dari bangsa Quraisy yang mengelola Ka'bah selepas Nabi Ibrahim. Di masa Qusai ini, tinggi Ka'bah ditambah menjadi 25 hasta dan diberi atap. Setelah Hajar Aswad ditemukan, kemudian disimpan oleh Qusai, hingga masa Ka'bah dikuasai oleh Quraisy pada masa Nabi Muhammad.


Nabi Muhammad membantu memasangkan Hajar Aswad itu pada tempat semestinya.


Dari masa Nabi Ibrahim hingga ke bangsa Quraisy terhitung ada 2.645 tahun. Pada masa Quraisy, ada perempuan yang membakar kemenyan untuk mengharumkan Ka'bah. Kiswah Ka'bah pun terbakar karenanya sehingga juga merusak bangunan Ka'bah. Kemudian, terjadi pula banjir yang juga menambah kerusakan Ka'bah. Peristiwa kebakaran ini yang diduga membuat warna Hajar Aswad yang semula putih permukaannya menjadi hitam.


Untuk membangun kembali Ka'bah, bangsa Quraisy membeli kayu bekas kapal yang terdampar di pelabuhan Jeddah, kapal milik bangsa Rum. Kayu kapal itu kemudian digunakan untuk atap Ka'bah dan tiga pilar Ka'bah. Pilar Ka'bah dari kayu kapal ini tercatat dipakai hingga 65 H. Potongan pilarnya tersimpan juga di museum.


Empat puluh sembilan tahun sepeninggal Nabi (yang wafat pada 632 Masehi atau tahun 11 Hijriah), Ka'bah juga terbakar. Kejadiannya saat tentara dari Syam menyerbu Makkah pada 681 Masehi, yaitu di masa penguasa Abdullah bin Az-Zubair, cucu Abu Bakar, yang berarti juga keponakan Aisyah.


Kebakaran pada masa ini mengakibatkan Hajar Aswad yang berdiameter 30 cm itu terpecah jadi tiga.


Untuk membangun kembali, seperti masa-masa sebelumnya, Ka'bah diruntuhkan terlebih dulu. Abdullah AzZubair membangun Ka'bah dengan dua pintu. Satu pintu dekat Hajar Aswad, satu pintu lagi dekat sudut Rukun Yamani, lurus dengan pintu dekat Hajar Aswad. Abdullah bin Az-Zubair memasang pecahan Hajar Aswad itu dengan diberi penahan perak. Yang terpasang sekarang adalah delapan pecahan kecil Hajar Aswad bercampur dengan bahan lilin, kasturi, dan ambar.

Jumlah pecahan Hajar Aswad diperkirakan mencapai 50 butir.

Pada 693 Masehi, Hajjaj bin Yusuf Ath-Taqafi berkirim surat ke Khalifah Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima dari Bani Umayyah yang mulai menjadi khalifah pada 692 Masehi), memberitahukan bahwa Abdullah bin Az-Zubair membuat dua pintu untuk Ka'bah dan memasukkan Hijir Ismail ke dalam bangunan Ka'bah.


Hajjaj ingin mengembalikan Ka'bah seperti di masa Quraisy; satu pintu dan Hijir Ismail berada di luar bangunan Ka'bah. Maka, oleh Hajjaj, pintu kedua--yang berada di sebelah barat dekat Rukun Yamani--ditutup kembali dan Hijir Ismail dikembalikan seperti semula, yakni berada di luar bangunan Ka'bah.


Akan tetapi, Khalifah Abdul Malik belakangan menyesal setelah mengetahui Ka'bah di masa Abdullah bin AzZubair dibangun berdasarkan hadis riwayat Aisyah. Di masa berikutnya, Khalifah Harun Al-Rasyid hendak mengembalikan bangunan Ka'bah serupa dengan yang dibangun Abdullah bin Az-Zubair karena sesuai dengan keinginan Nabi.

Namun, Imam Malik menasihatinya agar tidak menjadikan Ka'bah sebagai bangunan yang selalu diubah sesuai kehendak setiap pemimpin. Jika itu terjadi, menurut Imam Malik, akan hilang kehebatannya di hati kaum Mukmin.

Pada 1630 Masehi, Ka'bah rusak akibat diterjang banjir. Sultan Murad Khan IV membangun kembali, sesuai bangunan Hajjaj bin Yusuf hingga bertahan 400 tahun lamanya pada masa pemerintahan Sultan Abdul Abdul Aziz. Sultan inilah yang memulai proyek pertama pelebaran Masjidil Haram.


Replika mushaf di Museum ini tersimpan pula replika Quran mushaf Usmani yang bacaannya, susunan surah dan ayatnya, serta jumlah surah dan ayatnya dipakai sebagai panduan hingga sekarang. Yang berbeda cuma bentuk hurufnya.


Pada masa Khalifah Usman bin Affan (35 H) dibuatlah standardisasi penulisan Quran. Di masa itu, sahabatsahabat Nabi memiliki mushaf yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan surah dan ayat, maupun jumlah surah dan ayat.


Mushaf yang dimiliki Ibnu Mas'ud, misalnya, tidak menyertakan Surat AlFatihah dan susunan surat yang berbeda. Surah keenam bukanlah Surah Al-An'am, melainkan Surah Yunus.


Quran Ali bin Abi Thalib juga tak memiliki Surah Al-Fatihah. Ali juga tak memasukkan surah ke-13, 34, 66, dan 96 ke mushafnya. "Ukuran mushaf Usman yang asli berbeda dari yang ini. Ini hanya duplikat,'' ujar Abdul Rahman. (republika)

*Hadloroh (Ulul Ahbab)

http://www.ulul-ahbab.co.cc/

Jumat, 05 Agustus 2011

SUDAH SALAFYKAH AKHLAKMU......????

Saudaraku, mungkin engkau balik bertanya kepadaku, kenapa hal itu engkau tanyakan?! Tidakkah engkau melihatku memelihara jenggot dan memendekkan ujung celanaku di atas mata kaki? Tidakkah engkau tahu bahwa aku rajin mengaji, duduk di majelis ilmu mendengarkan Kitabullah dan Hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama yang disyarahkan oleh ustadz-ustadz salafy?

Sabar saudaraku, tenanglah aku tidak meragukan semua yang engkau katakan. Engkau tidak pernah absen menghadiri majelis ilmu, penampilanmu juga menunjukkan bahwa engkau berusaha untuk meneladani generasi salafus sholeh.


Tapi, tahukah engkau saudaraku .. (Ahlus Sunnah sejati adalah orang yang menjalankan islam dengan sempurna baik akidah maupun akhlak. Tidak tepat, jika ada yang mengira bahwasa seorang sunny atau salafy adalah orang meyakini I’tiqod Ahlus Sunnah tanpa memperhatikan aspek perilaku dan adab-adab islamiyah, serta tidak menunaikan hak-hak sesama kaum muslimin.)[1].

Maafkan aku jika kata-kataku ini menyakitkan hatimu, tetapi hatiku tak tahan lagi untuk tidak mengatakannya, karena aku mencintaimu karena Allah, aku inginkan yang terbaik untukmu semoga Allah Ta’ala memperlihatkan kepada kita kebenaran itu sebagai suatu kebenaran dan membimbing kita untuk mengikutinya. Dan semoga Ia memperlihatkan kepada kita kebatilan itu sebagai suatu kebatilan serta menganugerahkan kepada kita taufik untuk menjauhinya.

Berapa banyak orang yang dibutakan dari kebenaran, dan tidak sedikit pula yang melihat kebenaran tetapi enggan mengikutinya. Berapa banyak pula orang yang mengira kebatilan adalah kebenaran dan tidak sedikit pula orang yang mengetahui kebatilan tapi masih saja mengikutinya.

Ya Allah .. berilah kami petunjuk dan luruskanlah kami …

Saudaraku,

Sikapmu yang kurang menghargai orang yang lebih tua darimu dan angkuh terhadap orang yang lebih muda darimu, dari mana engkau pelajari?!

Lupakah engkau hadits yang pernah kita pelajari bersama,

ليس منا من لم يرحم صغيرنا و يوقر كبيرنا

Artinya, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak mengasihi yang lebih kecil dan tidak menghormati yang lebih besar”. (HR. At-Tirmidzi dari sahabat Anas rodhiyallahu ‘anhu dan dishohihkan oleh Al Albany di Shohih Al Jami’ no. 5445)

aku teringat hari itu, walaupun setiap mengingatnya hati ini merasa sedih dan resah. Ketika engkau dan beberapa orang lainnya menghadiri undangan. Turut hadir ketika itu orang-orang awwam yang di antaranya usia lebih tua dari kita. Ketika engkau masuk ke majelis lalu mengucapkan salam dan menjabat tangan semua yang duduk kecuali bapak itu, engkau menyalami orang yang duduk di samping dan belakang bapak itu, lalu engkau duduk se-enaknya di depan bapak itu tanpa sedikit senyuman apalagi menjabat tangannya!!

Owh ..jelas benar guratan sedih dan perasaan aneh yang menyemburat dari wajah bapak tersebut. Sampai aku pun malu duduk di situ, kalau bisa ingin rasanya aku untuk tidak hadir di situ dan saat itu..

Saudaraku, katakanlah kepadaku agar aku tidak berburuksangka kepadamu,

- Apa yang memberatkan bibirmu untuk memberikannya sedikit senyuman walaupun hambar?! Padahal engkau tahu Nabi kita shollollahu ‘alaihi wa sallama bersabda,

تبسمك في وجه أخيك لك صدقة

“Senyumanmu dihadapan saudaramu adalah sedekah bagimu”. (HR. At-Tirmidzi, Bukhari di Adabul Mufrod dan Ibnu Hibban, Ash-Shohihah oleh Al-Albany no. 572)

- Apa yang membuat lidahmu kelu untuk menyapa walau hanya dengan tiga aksara “Pak”.

- Apa yang membuat tanganmu lumpuh untuk menjabat tangannya?! Seperti engkau menjabat tangan yang lainnya?! Tidakkah engkau pernah membaca atau mendengar bahwa salafunas sholeh menjabat tangan anak-anak ketika bertemu, lantas bagaimana kalau dia lebih tua darimu?

عن سلمة بن وردان قال: رأيت أنس بن مالك يصافح الناس، فسألني: من أنت؟ فقلت: مولى لبني ليث، فمسح على رأسي ثلاثاً، وقال: “بارك الله فيك”

Dari Salamah bin Wardaan ia menuturkan, “Aku melihat Anas bin Malik menjabat tangan manusia, maka ia bertanya kepadaku, ‘Engkau siapa?’. Aku menjawab, ‘Maulaa Bani Laits’. Lalu ia mengusap kepalaku tiga kali seraya berkata, ‘Semoga Allah memberkahimu”. (HR. Bukhari di Adabul Mufrod, Syaikh Al-Albany mengatakan, “Shohihul Isnad”)

Dari Al-Barro’ bin ‘Azib rodhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Termasuk kesempurnaan tahiyyah (salam) engkau menjabat tangan saudaramu”. (HR. Bukhari di Adabul Mufrod, Syaikh Al-Albany mengatakan, “Isnadnya shohih mauquf”).

Jawablah saudaraku! Bukankah dia juga seorang muslim? Apakah karena dia tidak berjenggot seperti dirimu dan celananya masih menutupi mata kaki??

Tidak saudaraku .. tidak! sejak kapan salam dan jabat tangan hanya khusus untuk orang-orang yang penampilan sama sepertimu atau orang-orang yang menghadiri majelis ilmu saja?!

Sikapmu inilah yang barangkali dapat menghambat dakwah salafiyah di terima oleh kaum muslimin. Membuat mereka merasa dijauhi dan dipandang sebelah mata.

Saudaraku .. ketika engkau mengaku seorang salafy tetapi dengan sikap dan akhlakmu yang jauh dari akhlak salafus sholeh engkau telah ikut menghalangi dan menghambat dakwah yang hak ini.

Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau berkata di akhir kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah setelah menyebutkan pokok-pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Kemudian mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) disamping pokok-pokok ini, mereka mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran sesuai dengan apa yang diwajibkan syari’at. Mereka memandang tetap menegakan haji, jihad, sholat jum’at dan hari raya bersama para pemimpin yang baik maupun yang keji. Mereka menjaga (sholat) jama’ah, dan melaksanakan nasehat untuk umat. dan mereka meyakini makna perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama,

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضًا وشبك بين أصابعه

“Seorang mukmin bagi mukmin lainnya adalah laksana bangunan yang kokok saling menguatkan satu dengan lainnya”. Lalu beliau menjalin di antara jari-jemarinya.(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa rodhiyallahu ‘anhu)

Dan sabdanya,

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling mencintai, menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh merasakan sakit, seluruh tubuh ikut merasakan demam dan tidak bisa tidur”. (HR. Bukhari dan Muslim dari An Nu’man bin Basyir rodhiyallahu ‘anhu)

Mereka mengajak bersabar menghadapi ujian, bersyukur ketika lapang, dan ridho dengan pahitnya qodho’. Mereka mengajak kepada akhlak-akhlak yang mulia dan perbuatan-perbuatan baik, dan meyakini makna perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallama,

أكمل المؤمنين إيمانًا أحسنهم خلقًا

“Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlak-akhlaknya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Mereka mendorong untuk menyambung hubungan dengan orang yang memutus hubungannya denganmu, memberi orang yang tidak mau memberimu, mema’afkan orang yang menzalimimu, memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orangtua, dan begitu juga mereka memerintahkan untuk menyambung silaturrahim, bertetangga dengan baik, melarang sifat angkuh, sombong, zalim dan merasa lebih tinggi dari makhluk dengan hak atau tidak dengan hak. Mereka memerintahkan kepada budi pekerti yang tinggi dan melarang dari akhlak yang tercela.

Dan seluruh apa yang mereka katakan dan kerjakan dari ini dan yang lainnya, sesungguhnya mereka dalam hal itu mengikuti Al Kitab dan As Sunnah. Jalan mereka adalah Dinul Islam yang Allah mengutus Muhamad shollallahu ‘alaihi wa sallama dengannya”. (Al Akidah Al Wasithiyyah, hal. 129-131).

Saudaraku, aku yakin engkau adalah seorang yang berjiwa besar dan bisa berlapang dada menerima nasehat, karena itu marilah kita perbaiki kekurangan-kekurangan kita dalam meneladani akhlak salaf sehingga sempurna pula ittiba’ kita kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.

Semoga Allah Ta’ala membimbing kita untuk meniti jalan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama dan mengikuti jejak-jejak salafush sholeh baik dalam akidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, dan hubungan antara sesama, amin.

Sabtu, 09 Juli 2011

Habib Syech Assegaf

Habib Syech Assegaf
Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm. Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf ( tokoh alim dan imam Masjid Jami' Asegaf di Pasar Kliwon Solo), berawal dari pendidikan yang diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayah handa tercinta, Habib Syech mendalami ajaran agama dan Ahlaq leluhurnya. Berlanjut sambung pendidikan tersebut oleh paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaout. Habib Syech juga mendapat pendidikan, dukungan penuh dan perhatian dari Alm. Al-Imam, Al-Arifbillah, Al-Habib Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan pemegang magom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan syiar cinta Rosull yang diawali dari Kota Solo. Waktu demi waktu berjalan mengiringi syiar cinta Rosullnya, tanpa di sadari banyak umat yang tertarik dan mengikuti majelisnya, hingga saat ini telah ada ribuan jama'ah yang tergabung dalam Ahbabul Musthofa. Mereka mengikuti dan mendalami tetang pentingnya Cinta kepada Rosull SAW dalam kehidupan ini.
Ahbabul Musthofa, adalah salah satu dari beberapa majelis yang ada untuk mempermudah umat dalam memahami dan mentauladani Rosull SAW, berdiri sekitar Tahun1998 di kota Solo, tepatnya Kampung Mertodranan, berawal dari majelis Rotibul Haddad dan Burdah serta maulid Simthut Duror Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf memulai langkahnya untuk mengajak ummat dan dirinya dalam membesarkan rasa cinta kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW .

Tim Hadloroh

Astagfirullah